Minggu, 27 Mei 2012

Hubungan Negara dan Agama


BAB I
PENDAHULUAN
Dalam sejarah-sejarah Gereja di Indonesia, dapat ditemukan adanya masalah hubungan Gereja dan Negara. Masalah itu sudah mulai sejak zaman zending, kemudian berlanjut ke dalam masa perjuangan kemerdekaan dan juga masa sesudah kemerdekaan.
Hubungan Gereja dengan  Negara menjadi amat penting dalam proses pergumulan bangsa Indonesia untuk menentukan bentuk negaranya, apakah Negara Agama atau Negara sekuler. Sebagaimana yang terjadi dalam GKR (Gereja Katolik Roma) pada abab pertengahan di Eropa Barat dimana  tujuan dan  fungsi Gereja-Negara tidak jelas bahkan semakin memburuk. Oleh situasi tersebut Luther menerapkan salah satu pokok pikirannya tentang hubungan Gereja dan Negara” yang merupakan salah satu unsur yang terpenting melalui ajarannya “dua kerajaan”. Ajaran ini menekankan adanya pemisahan antara kerajaan sorgawi dan kerajaan duniawi, walaupun pada dasarnya terdapat titik temu di antara keduanya. Oleh sebab itu lewat seminar ini kita dapat menemukan beberapa gagasan-gagasan Luther tentang pandangannya terhadap gereja dan Negara.
           
BAB II
PEMBAHASAN
1.    Sejarah Singkat Hidup Martin Luther[1]
Martin Luther lahir pada tanggal 10 November 1483 di Eisleben, Saxonia, dan wafat pada tanggal 18 Februari 1546. Ia berasal dari keluarga petani, dan mengaku,”Ich bin ein Bauern Sohn” (Saya anak petani). Ayahnya bernama Hans Luther, dan ibunya Margaret Ziegler.
Pada musim panas 1484, keluarga Luder pindah ke Mansfeld, Magdeburg dan Einsenach. Pada tahun 1501, Luther belajar di Universitas Erfurt dan meraih gelar MA (Magister Artium) pada tahun 1505 melalui Trivum dan Quadrivium. Kemudian sesuai dengan keinginan ayahnya, ia melanjutkan studi dengan memasuki fakultas hukum. Tetapi ketika ia baru memulainya, ia mengalami kejadian yang amat menentukan masa depannya, yaitu ketika ia berjalan di tempat terbuka dalam cuaca yang buruk, ia hampir-hampir tersambar petir; takut akan mati, dan berjanji kepada Santa Anna, bahwa ia akan masuk ke biara.
Dan pada tanggal 17 Juli 1505, ia masuk ke ordo rahib St.Agustinus. Dan pada tanggal 3 April 1507, ia di tahbiskan menjadi Imam. Kemudian pada tahun 1512, ia meraih gelar Doktor Teologi.
Pada tahun 1524 ia melepaskan jubah kebiaraanya, dan pada tahun 1525 ia menikah dengan Katherina Von Bora, yang merupakan bekas biarawati. Dari Katherina, ia mempunyai 6 orang anak yang bernama Hans, Elizabeth,Magdalena, Martin, Paul, dan Margareth.
Kemudian pada 18 Februari 1546, Martin Luther wafat di Eisleben, Kekaisaran Suci Romawi.

2.    Latar-belakang Munculnya Pemikiran Luther tentang Gereja dan Negara
Yang mempengaruhi munculnya pemikiran Luther tentang Gereja dan Negara adalah tidak terlepas dari situasi GKR pada abad pertengahan di Eropa Barat. H. Berkhof mencatat bahwa sejak abad ke-V gereja telah diduniawikan. Artinya bahwa gereja adalah di bawah perlindungan kaisar. Kaisar berperan sebagai kepala gereja. Dengan demikian Gereja-Negara disusun selaku badan hukum yang berpusatkan istana kaisar.[2] Uskup Roma juga menyebutkan dirinya sebagai wakil Kristus yang memiliki dua kekuasaan, yaitu kuasa untuk menganugerahkan dan kuasa untuk mengalihkan kerajaan-kerajaan. Artinya semua uskup di seluruh dunia harus meminta penahbisan dan pengukuhan darinya. Selain daripada itu, ia memiliki hak untuk membuat peraturan-peraturan ibadah, perubahan dalam sakramen, dan ajaran-ajaran dalam gereja.[3] Situasi inipun terus berlanjut dari abad ke abad. Mangisi dalam bukunya, ia mencatat bahwa pada abad 11 sampai 13 perseteruan antara Paus dengan Kaisar adalah salah satu unsur penting karena gereja belum bersedia melepaskan diri dari urusan duniawi. Gereja telah memasuki kuasa politis. Oleh sebab itu, gereja telah menjadi kuda troya yang membawa penyakit dalam dirinya sehingga menyebabkan para raja makin gigih mempertahankan haknya, yang merupakan tenaga pendorong untuk merutuhkan landasan hubungan gereja-negara pada abad pertengahan.[4] Selain daripada itu juga munculnya pemikir-pemikir mistik yang berusaha “agar jiwa mengalami dan merasai Allah secara langsung”. Tokoh utama yang mencetuskan pemikiran-pemikiran ini adalah Benhard dan Eckhart.[5]
Pada abad ke 14-15, penguasa-penguasa Gereja semakin menonjol sampai kepada bidang yang tradisional dikuasai oleh gereja, seperti: Kebudayaan, Ilmu Pengetahuan, Pendidikan bahkan Teologi.[6] Sehingga dapat dikatakankan bahwa pada abad ke-15 inilah terjadinya reformasi. Artinya pemikir-pemikir yang sudah tahu tentang kehidupan GKR yang semakin memburuk berusaha melakukan reformasi oleh pemikir gereja yang sudah belajar tentang teologia yang cukup baik seperti Martin Luther.
Di Jermanlah yang menjadi tempat lahirnya reformasi yang terletak di tengah Eropa. Di Negara Jermanlah raja-raja atau pangeran berkuasa penuh atas daerahnya masing-masing.[7] Banyak raja mulai mengatur urusan negerinya sendiri, wilayahnya masing-masing dan tidak mengakui klaim supremasi gereja atau Paus atas Negara,[8]dan  bangkitnya kelas pedagang dan pengusaha di bidang perdagangan juga industri yang menjadi jikal bakal kapitalisme. Hal inilah yang menggeser dominasi feodalisme yang sudah berlangsung berabad-abad yang di dalamnya gereja juga terlibat. Karena gereja sejak lama berperan sebagai soko guru sistem feodalisme, maka tidak heran bila gereja (GKR) juga menjadi sasaran sikap kritis tersebut.[9] Para Imam tidak menjadi teladan bagi masyarakat, tetapi yang terjadi adalah mencari keuntungan diri sendiri. Di satu pihak pemikiran-pemikiran mistik abad pertengahan muncul kembali di dalam Thomas Muncher. Muncher menegaskan bahwa “kemiskinan” itu terutama kemiskinan akan harta benda, kemelaratan. Lalu ia menyimpulkan hanya orang-orang miskinlah yang dapat menerima roh, terang batiniah itu (menurut Matius 5:3). Sebaliknya orang kaya justru karena kaya mereka menjadi orang-orang fasik. Sehingga pada tahun 1525 terjadi pemberontakan para petani[10] kepada kaum penguasa. Mulanya Luther menyalahkan para penguasa ini, tetapi ketika pemberontakan itu berubah menjadi pertumpahan darah, dia juga menyarang para petani.[11] Alasan mereka melakukan pemberontakkan ini adalah kutipan-kutipan Luther yang berbicara tentang “kebebasan”. Mereka menafsirkan kebebasan itu sebagai kebebasan dari kewajiban-kewajiban yang tidak wajar kepada tuan-tuannya. Akan tetapi maksud Luther tentang “kebebasan seorang Kristen” itu adalah kebebasan dan tuntutan hokum taurat bukan berarti bebas dari kerja rodi dan sebagainya.[12] Akibat peristiwa ini, Luther tidak percaya lagi bahwa rakyat sendiri bisa menjalankan pemerintahan yang teratur dalam Negara. Melalui peristiwa ini, Luther menyetujui sistem yang telah digunakan oleh raja Sachsen yang mengatakan bahwa: pemerintah membagi daerah atas distrik-distrik, dan setiap distrik mengangkat seorang pejabat yang diberi gelar “superintendent”.[13] Melalui peristiwa ini Luther mencanangkan protes terhadap ajaran dan praktik gereja.[14]
Selain dari kelompok kaum mistik muncul juga kaum Anabaptis yang menegaskan bahwa jemaat Kristen hanya boleh terdiri dari orang-orang percaya saja. Oleh karena itu, mereka menolak pembaptisan anak-anak. Dasar gereja menurut mereka adalah kesucian anggota-anggotanya bukan rahmat Allah atas orang-orang berdosa. Hal inilah yang ditentang oleh Luther yang mengatakan bahwa dasar gereja bukanlah kesucian anggota-anggotanya melainkan rahmat Allah dan pemberitaan firman dan sakramen-sakramen.[15]

3.    Pandangan Martin Luther tentang hakikat Gereja dan Negara
1)    Pandangan Martin Luther tentang Hakikat Gereja
Pada awalnya para reformator meyakini bahwa gereja pad abad pertengahan telah rusak dan ajarannya telah menyimpang karena melepaskan diri dari Kitab Suci dan karena tambahan-tambahan manusia  pada kitab suci. Pandangan-pandangan Luther tentang hakikat Gereja adalah perefleksian penekanan atas firman Allah. Firman Allah berjalan terus untuk menaklukan dan kemanapun ia akan menaklukan dan mendapat kesetiaan yang benar kepada Allah dan gereja. Injil adalah sesuatu yang esensial bagi identitas gereja, “di mana firman itu ada di sana ada iman, dan di mana ada iman dan di sana ada gereja yang benar”. Luther juga mengatakan bahwa gereja yang kelihatan dibentuk oleh pemberitaan firman Allah. Lembaga gereja ini merupakan alat anugerah yang ditentukan secara ilahi. Di samping itu juga, Luther mengatakan bahwa “gereja yang palsu hanya mempunyai rupa yang kelihatan saja, meskipun ia memiliki jabatan-jabatan Kristen”. Dengan kata lain, gereja abad pertengahan telah menyerupai gereja yang sebenarnya tetapi dia benar-benar sesuatu yang berbeda.[16]
Luther menerima pandangan Augustinus tentang gereja sebagai suatu badan “campuran”. Anggota gereja yang jahat terdapat di dalam gereja. ”sama seperti kotoran tikus di temukan di antara biji lada atau lalang di antara biji gandum”. Itu adalah salah satu fakta dari kehidupan gereja yang di akui oleh Augustinus dan di setului oleh Luther. Artinya gereja harus di lihat sebagai gereja yang keanggotaanya bercampur, baik orang-orang kudus maupun orang-orang berdosa.[17]
2)    Pandangan Martin Luther tentang Negara
Luther memandang Negara sebagai sesuatu yang berasal dari Allah. Konsekuensinya adalah bahwa seluruh dunia dan manusia harus tunduk kepada Allah. Dengan demikian maka kesetiaaan manusia kepada penguasa menjadi tanpa syarat. Luther melihat kesetiaan warga Negara kepada pimpinannya sebagai hal yang rohani dalam kerangka hubungan manusia dengan Allah.[18]
Dalam katekismus besar Luther, juga disebutkan bahwa kuasa itu berasal dari Allah. Luther meneruskan penjelasannya yang mengatakan bahwa pemerintah tercakup di dalam kedudukan orang tua. Artinya ketaatan kepada penguasa adalah ketaatan kepada seorang bapak, sebab pejabat bukan hanya bapak dari satu keluarga melainkan bapak dari rakyat. Para penguasa bagaikan orang tua[19] dan penguasa itu meneladani Kristus. Artinya ialah bahwa seorang penguasa harus mengosongkan dirinya seperti Kristus. Ia tidak mengeksploitasi kekuasaan demi kepentingannya, melainkan demi kepentingan orang lain.[20]Negara tidak boleh merebut hak-hak Allah. Allahlah yang memerintah jiwa-jiwa bukan Negara. Luther mempertegas bahwa tugas dan tanggung jawab pemerintah atau penguasa adalah mempraktekkan keadilan, mengizinkan kebebasan bagi setiap orang dalam melaksanakan kepercayaannya, membela Negara dari semua musuh-musuhnya, dan memuliakan Tuhan.
4.    Hubungan Gereja dan Negara menurut Martin Luther
Dalam menjelaskan hubungan antara gereja dan Negara, luther menggunakan teori atau ajaran tentang “dua kerajaan”[21]atau “dua pemerintahan”. Luther menarik suatu perbedaan antara pemerintahan “spiritual” yang berasal dari Allah yang diberlakukan melalui firman Allah dan tuntunan roh kudus, dan pemerintahan “duniawi” Allah diberlakukan melalui raja-raja, pengeran-pangeran dan hakim-hakim dengan mempergunakan pedang dan hukum Negara. Luther juga menekankan perbedaan antara konsepsi manusia dan konsepsi Ilahi tentang “kebenaran” atau “keadilan”, suatu tema yang merupakan karakteristik dari “teologi salib”. Ukuran Allah tentang keadilan mempersoalkan semua perkara di dunia ini. Luther mengatakan bahwa keteraturan akan dikenakan untuk menciptakan kedamaian dan untuk menekan dosa dan semua ini didasarkan atas firman Allah dan merefleksikan kehendak Ilahi untuk membangun dan memelihara bidang duniawi.[22] Atau dengan kata lain, Allah memberi kepada gereja kuasa untuk mengurusi kehidupan rohani dari umat yang sudah berada dalam lingkungan kerajaan Allah, sedangkan kepada Negara Allah memberikan kuasa mengurusi kehidupan duniawi untuk menertipkan orang-orang jahat, sekaligus menolong gereja mengupayakan orang-orang yang belum Kristen itu bisa masuk ke dalam naungan kerajaan Allah. Karena para raja dan bangsawan itu adalah warga gereja, maka sejalan dengan semboyan “Imamat  Am Orang Percaya” bahwa mereka juga terpanggil untuk membaharui gereja dan mengambil bagian dalam pelayanan gereja terutama dalam memberantas kejahatan dan mengupayakan perikehidupan yang kristiani. Dengan alasan itu pula maka Luther setuju bila orang Kristen duduk dalam pemerintahan. Ia menerima pandangan Augustinus yang mengatakan bahwa pemerintahan Kristen harus memerintah dengan akal, kasih dan kehendak baik.[23] Pemerintah atau pangeran-pangeran itu harus tetap melaksanakan tugas ilahi (Luther mengacu pada Roma 13:1-7, I Petrus 2:13-14)[24]
Pada mulanya Luther berpendapat bahwa secara kelembagaan Negara tidak boleh mengurusi kehidupan gereja. Tetapi ketika ia melihat bahwa ada kelompok tertentu atas nama imam melakukan pemberontakkan dan huru-hara yang juga mengakibatkan kerugian kepada gereja, antara lain pemberontakkan kaum petani tahun 1525 yang dinilai Luther sudah mengarah pada anarkhi, maka Luther memberi peluang kepada negara untuk ikut mengatur kehidupan gereja. Dalam perkembangan selanjutnya campur tangan Negara terhadap gereja semakin besar. Itu tak lepas dari dukungan raja-raja tertentu di Jerman terhadap Luther ketika membela di hadapan tuntutan GKR. Itulah sebabnya di Negara-negara yang didominasi aliran Lutheran (mis. Jerman dan Negara-negara Skandinafia) gereja pada umumnya menjadi gereja Negara, paling tidak hingga pada abad ke XIX.[25]
BAB III
PENUTUP
1.    Analisa
Gereja dan Negara menurut Martin Luther harus dipisahkan meskipun sebenarnya bersinggungan. Pemisahan itu, Luther menggunakan ajaran tentang “dua kerajaan” atau “dua pemerintahan”. Namun dikatakan bersinggungan karena sama-sama melakukan pekerjaan yang diamanatkan Tuhan demi memanusiakan manusia. Gereja sebagai bagian dari warga Negara RI dan makhluk social, yang tidak menutup kerjasama dengan Pemerintah dalam membangun manusia seutuhnya.
Lalu yang menjadi pertanyaan sekarang adalah adakah ajaran “Dua Kerajaan Luther” hadir di Negara Republik Indonesia saat ini? secara ringkas dapat disebut ada jika pendekatannya dari sudut pemisahan kekuasaan sebagai unsur penting. Namun dikatakan tidak ada, jika kita melihat keadaan gereja mencampuri urusan Negara, bahkan lebih memfokuskan pada bagian politik lalu mengabaikan pelayanan, dan penggembaan. Akan tetapi jika kita menganalisa secara umum di Negara kita ini bahwa mayoritas masyarakat tidak mengenal ajaran tersebut di sebabkan oleh beberapa faktor, misalnya para Pendeta kurang mendalami ajaran Luther ini sehingga sulit menerapkannya dalam kehidupan jemaat. Kesulitan mereka yaitu, tidak mengetahui bahwa kedua kerajaan itu berasal dari Allah. Banyak para penguasa tidak memerintah sesuai kehendak Allah tetapi yang terjadi adalah menindas rakyat oleh kekorupsian mereka.  Demikian pula dengan para Hamba Tuhan yang tidak mau melayani dengan tulus sehingga yang terpikirkan adalah kemakmuran.
Siapakah gereja dan Negara itu? Dalam konsep gereja rakyat, bukankah orang yang di dalam gereja itu adalah bagian dari masyarakat, dan itu juga yang menjalankan pemerintahan? Jawabnya, memang demikian, sebab orang Kristen hidup di dalam dunia, kakinya berdiri sebelah di kawasan gerejawi dan satu lagi di kawasan duniawi. Dalam masyarakat yang non Kristen prinsip itu bisa berlaku. Sebagaimana penjelasan di atas bahwa Luther melihat kedua kekuasaan itu sebagai dua lingkaran yang terpisah tetapi bersinggungan secara fleksibel pada bagian tertentu. Luther melihat kedua kekuasaan itu berpusat pada Kristus. Dengan demikian gereja dan dunia ini adalah milik Kristus.
Politik adalah salah satu bidang pelayanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sama pentingnya dengan bidang-bidang kehidupan lainnya. Menurut Luther dalam politik, pejabat pemerintah dan politisi jiga adalah imam yang mesti mempergunakan kemampuannya di bidang politik bagi kepentingan manusia dan Tuhan (istilah “imamat am orang percaya”). Prinsip Marthin Luther tentang pekerjaan menggaris bawahi bahwa setiap pekerjaan adalah mimbar Allah. Orang Kristen bisa menjadi serdadu tetapi bukan berperang untuk menyerang orang lain melainkan karena keadaan darurat atau terpaksa demi mempertahankan kepentingan orang lain. Setiap pekerjaan yang di embankan bagi tiap-tiap orang harus memiliki  tujuan dan berusaha supaya bermanfaat bagi orang lain.





2.    Kesimpulan
Pada abad pertengahan fungsi gereja dan Negara telah tercampur baur. Gereja mengurusi kehidupan Negara demi memperoleh keuntungan sehingga pelayanan dan penggembaan diabaikan. Para penguasa pun tidak mengakui klaim supremasi gereja atau Paus atas Negara. Tetapi oleh anugerah Tuhan ia memperalatkan hambanya (Marthin Luther) untuk melakukan pembaharuan dalam kehidupan gereja dan Negara. Luther mengatakan bahwa hubungan Gereja dan Negara bukanlah suatu musuh dan bukan juga gereja yang berkuasa atas Negara, demikian sebaliknya. Tetapi Luther di sini memberikan pemahaman kepada gereja dan Negara bahwa gereja adalah mitra dari Negara dan juga Negara adalah mitra dari gereja tersebut. Jadi, dapat dikatakan bahwa tidak ada yang berkuasa, tetapi menurut Luther gereja tetap berada di bawah pemerintahan namun pemerintah tidak menjadi hakim di dalam gereja tersebut melainkan menjadi sahabat dalam menyelesaikan masalah dan juga gereja bukanlah yang mengatur Negara melainkan yang memberikan pemahaman tentang hal yang dikatakan firman Tuhan.




Daftar Pustaka
1.    Aritonang, Jan S., Berbagai Aliran di dalam di Sekitar Gereja, Jakarta: BPK-GM; 2000.
2.    Berkhof, H., Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM; 1996.
3.    De Jonge, Ch., Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM; 2004.
4.    Jan S. Aritonang, Garis Besar Sejarah Reformasi, Bandung: Jurnal Info Media; 2007.
5.    Luther, Marthin, Katekismus Besar, terj. Anwar Tjen, Jakarta: BPK-GM; 1996.
6.    Mangisi SE. Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther, Pematangsiantar: kalportase pusat GKPI; 2008.
7.    McGrath, Alister E., Sejarah Pemikiran Reformasi, Jakarta: BPK-GM; 2002.
8.    Tappert, Theodore B., Konkord konfensi Gereja Lutheran, Jakarta: BPK-GM; 2004.
9.    Van de End, Th., Harta dalam Bejana, Jakarta: BPK-GM, 2000.



[1] Bnd. Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, (Jakarta: BPK-GM;2000), hlm.. 31.
[2] H. Berkhof,Sejarah Gereja,(Jakarta:BPK-GM;1996), hlm. 50-51.
[3] Theodore B. Tappert, Konkord konfensi Gereja Lutheran, (Jakarta: BPK-GM;2004), hlm.414.
[4] Mangisi SE. Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther,(Pematangsiantar: kalportase pusat GKPI;2008), hlm.26.
[5] Th. Van de End, Harta dalam Bejana, (Jakarta:BPK-GM,2000), hlm. 142.
[6] Ch de Jonge, Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja, (Jakarta:BPK-GM;2004), hlm. 69.
[7] Mangisi SE. Simorangkir, Op.Cit., hlm.29.
[8] H. Berkhof, Op.Cit., hlm. 138.
[9] Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di dalam di Sekitar Gereja,(Jakarta:BPK-GM;2000), hlm26.
[10] Th. Van de End, Op.Cit., hlm. 175.
[11] Mangisi SE. Simorangkir, Op.Cit., hlm. 32.
[12] Th. Van de End, Op.Cit., hlm. 175-176.
[13] Ibid, hlm.177.
[14] H. Berkhof, Op.Cit., hlm. 120.
[15] Th. Van de End, Op.Cit., hlm. 177-179.
[16] Alister E. McGrath,Sejarah Pemikiran Reformasi, (Jakarta:BPK-GM;2002),hlm.249-250.
[17] Ibid, hlm. 251.
[18] Mangisi SE. Simorangkir, Op.Cit., hlm.90.
[19] Marthin Luther, Katekismus Besar, terj. Anwar Tjen, (Jakarta:BPK-GM;1996), hlm. 63-65.
[20] Mangisi SE. Simorangkir, Op.Cit., hlm. 92-93.
[21]  Jan S. Aritonang, Garis Besar Sejarah Reformasi, (Bandung: Jurnal Info Media;2007), hlm. 127.
[22]Alister E. McGrath, Op.Cit., hlm. 270
[23] Mangisi SE. Simorangkir, Op.Cit., hlm. 91.
[24] Alister E. McGrath, Op.Cit.
[25] Jan S. Aritonang, Op.Cit.

Kamis, 24 Mei 2012



LATAR-BELAKANG KITAB YUNUS
Menurut J. Blommendaal, bahwa kitab Yunus ini bukanlah hasil tulisan Nabi Yunus sendiri, melainkan kitab yang menceritakan tentang seorang nabi yang bernama Yunus.[1] Sehingga C. Groenen menyatakan bahwa Kitab Yunus ini merupakan sebuah kitab yang berisikan cerita pembinaan yang pendek yang mementaskan Nabi Yunus, yang namanya terdapat dalam kitab 2 Raj. 14:25.[2] Nama Yunus dalam bahasa Ibrani berbunyi YONA yang berarti merpati. Nama lengkapnya adalah Yona bin Amittai.
Sehubungan dengan uraian tersebut di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa kitab ini tidak ditulis oleh seorang Nabi yang bernama Yunus, melainkan orang lain yang telah mengenal tradisi lisan tentang kisah Nabi Yunus. Karena menurut J. Blommendaal tokoh Yunus adalah seorang yang pernah hidup, sebab namanya terdapat dalam 2 Raj. 14:25. Dan J. Bloomendaal menambahkan bahwa Nabi Yunus hidup pada masa Yerobeam II (kira-kira 750 SM), dan bekerja di kerajaan Utara. Dia adalah seorang nabi nasionalis yang mengabarkan kemenangan bangsa Israel dalam perang melawan Aram.[3] Dan seandainya Kitab Yunus ini merupakan hasil karya orang lain yang telah menganal tradisi lisan tentang kisah Nabi Yunus, maka kapan kitab ini ditulis? Para ahli kitab sependapat bahwa kitab ini ditulis sekitar abad ke 5 atau 4 yaitu kira-kira tahun 350 SM. Alasannya karena di dalam kitab ini terdapat:[4]
a.       Pengaruh bahasa Aram,
b.      Bahasa Ibrani yang dipakainya adalah bahasa Ibrani yang muda,
c.       Kitab ini rupa-rupanya mau memprotes partikularisme di Yehuda pada masa sesudah pembuangan Babylon.
Sehubungan dengan uraian di atas maka pertanyaan yang berikutnya ialah apa yang menyebabkan atau apa yang melatar belakangi penulisan Kitab Yunus ini? Menurut S. Wismoady Wahono bahwa tujuan penulisan dari kitab ini adalah untuk mengkritik sikap orang-orang Yahudi setelah zaman pembuangan.[5] Mengapa penulis mengkritik sikap orang Yahudi pasca-pembuangan? S. Wismoady Wahono menjelaskan bahwa orang Yahudi Pasca-pembuangan merasa sebagai umat milik Allah secara khusus. Dan akibatnya mereka tidak dapat menerima jika ada orang bukan Yahudi yang juga bisa masuk menjadi umat Allah. Lebih daripada itu, dalam pemikiran bangsa Yahudi terdapat pemahaman bahwa musuh mereka tidaklah dapat memperoleh keselamatan dari Tuhan Allah Israel.[6] Sehingga bagi C. Groenen, kisah Yunus yang tidak bisa memahami belaskasihan Tuhan yang mengasihi dan mengampuni penduduk kota Niniwe merupakan simbol atau lambang sebagian umat Israel pada masa itu.[7] Dan hal ini diakibatkan oleh pengalaman pahit yang telah dialami oleh Bangsa Yahudi semasa mereka berada di dalam tangan bangsa penjajah (Babylon).
Sehingga tujuan dari penulisan Kitab Yunus ini adalah untuk mendaskan bahwa belaskasihan Allah merangkum semua manusia bahkan hewan. Dan kasih-Nya tidak terbatas pada orang-orang benar dan umat pilihan-Nya.[8] Kitab Yunus sebenarnya menentang kepicikan dan kefanatikan orang Yahudi yang bersikap radikal, nasional dan eksklusif.
Daftar Pusataka
C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
J. Blommendal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama, Jakarta: BPK-GM, 2008.
S. Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan, Jakarta: BPK-GM, 2009.


[1] J. Blommendal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK-GM, 2008), hlm. 132.
[2] Bnd. C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 305.
[3] Op. Cit., J. Blommendal, hlm. 133.
[4] Ibid.
[5] Bnd. S. Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan, (Jakarta: BPK-GM, 2009),hlm. 264.
[6] Ibid.
[7] Op. Cit., C. Groenen, hlm.306.
[8] Ibid.