BAB I
PENDAHULUAN
Menurut
penulis berbicara masalah dosa bukanlah hal yang baru. Ungkapan tentang dosa,
setiap saat diperdengarkan atau didengungkan. Setiap kali orang tua menegur
anak-anaknya selalu dikaitkan dengan kata dosa. Setiap kali pendeta berkhotbah,
maka pendeta selalu mengingatkan masalah dosa kepada jemaatnya. Dan Alkitab
sendiripun senantiasa berbicara tentang dosa. Di saat seseorang mengalami
masalah dalam hidupnya (misalnya sakit, dll) maka selalu dikaitkan dengan dosa.
Terlebih lagi jika masalah yang dialami seseorang itu dikaitkan dengan masalah
dosa yang turun-temurun. Di mana jika seseorang yang mengalami musibah atau
masalah maka seringkali muncul teguran yang berbunyi “itu karena dosamu”, atau
“jangan-jangan itu karena dosa orang tuannya”.
Namun
Firman Tuhan dalam kitab Roma juga berkata demikian: “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan
Allah dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan
dalam Kristus Yesus (Roma 3:23-24).” Dari nats ini jelas bahwa dosa
manusia telah ditebus oleh Yesus.
Lalu
mengapa masih ada perkataan “itu karena dosa.” Apa sebenarnya yang dimaksud
dengan dosa? Benarkah dosa itu turun-temurun? Bagaimana dosa yang turun
temurun? Benarkah setiap kali seseorang mengalami masalah dalam hidupnya, itu
disebabkan oleh dosanya atau oleh dosa yang turun-temurun dari nenek moyangnya?
Benarkah dosa yang turun-temurun itu ada? Lalu jenis dosa apa yang bisa
dikategorikan sebagai dosa yang turu-temurun, jika seandainya dosa yang
turun-temurun itu ada.
Rasa
penasaran inilah yang menggerakkan hati kecil penulis untuk melihat kasus ini
dengan mencoba berlandaskan pada pandangan surat Roma pasal 2-3 dan secara
khusus berpatokan pada Roma 3:23-24.
BAB II
PEMBAHASAN
a. Pengertian dosa
Menurut
kamus besar bahasa Indonesia, bahwa kata dosa
itu berarti perbuatan yang melanggar hukum TUHAN atas Agama atau dengan istilah
lain Perbuatan salah.[1]
Selain daripada itu, menurut W.R.F. Browning, bahwa dosa itu adalah sesuatu
yang tidak dapat diterima (bagi Allah, atau umat manusia).[2]
Jadi dari pengertian ini, penulis menyimpukan bahwa dosa yang turun temurun itu
artinya ialah perbuatan yang melanggar hukum TUHAN atau agama, yang sifatnya
turun-temurun. Lalu sekarang yang menjadi pertanyaan selanjutnya ialah apa dan
bagaimana dosa menurut Paulus dengan perhatian lebih ditunjukkan pada dosa yang
sifatnya turun-temurun.
b. Latar belakang Surat Roma
Untuk
melihat latar-belakang surat Roma ini, maka ada beberapa hal yang harus penulis
uraikan, yakni:
Surat
Roma ditulis oleh rasul Paulus sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam surat Roma
1:1 yang berbunyi: “Dari Paulus, hamba Kristus Yesus, yang
dipanggil menjadi rasul dan dikuduskan untuk memberitakan Injil Allah.” Dan
hal ini juga didukung oleh pendapat M.E. Duyvereman dalam bukunya “Pembimbing ke dalam Perjanjian Baru”,
yang mengatakan bahwa tidak ada yang dapat menyanggah kalau bukan Rasul Paulus
yang menulis Surat Roma ini.[3]
Siapakah
Paulus?
Menurut
S. Wismoady Wahono, bahwa rasul Paulus
merupakan perintis dan sekaligus pemimpin usaha pekabaran Injil kepada
masyarakat Romawi-Yunani.[4]
Paulus Lahir di kota Tarsus, propinsi Kilikia (Kis. 21:39), sebuah kota Yunani
yang juga menjadi salah satu pusat kebudayaan Yunani (helenistis). Orang tuanya
adalah anggota kelompok Yahudi Ortodox, yang mendidik anaknya menurut ajaran
Farisi (Kis. 23:6; Fil. 3:5). Mereka berstatus Warga negara Romawi.[5]
Selain daripada itu, pada masa mudanya, Paulus pergi ke Yerusalem, dan menurut
kesaksiannya yang tertulis dalam Kisah Para Rasul, dia belajar di bawah
pimpinan Rabi Gamaliel I yang terkenal, guru yang utama pada sekolah Hilel (Kis. 22:3).[6]
Dari latar belakang ini bisa dipastikan mengapa Paulus
sangat memahami, menguasai dan
menghargai teologi Yahudi, yang berbasiskan Hukum Taurat, dan lebih jauh
membelanya, sebagai suatu tindakan membela kebenaran. Demi membela Hukum Taurat
itulah Paulus merasa terpanggil/wajib untuk membumi-hanguskan segala
bentuk/kelompok yang mengabaikannya. Dan dengan terus-terang Paulus menyatakan
bahwa “musuh” itu ialah jemaat Allah.
Pengenalan
diri Saulus dalam Alkitab pertama sekali pada peristiwa pembunuhan Stefanus
(Kis. 8:1a), dan setelah peristiwa itu Paulus semakin aktif untuk mengejar dan
menganiaya orang-orang Kristen (Kis. 8:3), hal itu dibuktikan dengan tindakan Paulus
yang meminta surat dari Imam Besar supaya, jika ia menemukan laki-laki atau
perempuan yang mengikuti ajaran para Rasul Kristus, ia menangkap dan membawa
mereka ke Yerusalem (Kis. 9:1-2).
Namun,
dalam perjalanan melakukannya misinya tersebut, Saulus mengalami peristiwa dan
kenyataan yang merubah arah hidupnya. Peristiwa itu terjadi di jalan menuju ke
Damsyik atau Damaskus (Kis. 9:3-9; 22:4-11 dan 26:12-18). Peristiwa itu ialah
Paulus bertemu dengan Kristus. Sehingga peristiwa inilah yang menjadi pendorong
Paulus untuk pelayanan mengabarkan berita Injil Kristus.
Mengapa
Paulus menulis surat kepada jemaat di Roma?
Satu
hal yang perlu diketahui bahwa Jemaat Kristen di Roma bukanlah hasil misi
Paulus atau dengan kata lain bahwa jemaat Roma tidak didirikan oleh Paulus.[7]
Oleh karena itu, Menurut Feine-Behm, yang dikutip oleh Willi Marxsen dalam
bukunya Pengantar Perjanjian Baru,
bahwa Paulus – melalui suratnya ini berkeinginan untuk menggunakan gereja di
Roma sebagai basis kampanyenya untuk pekerjaan selanjutnya, sehingga ia
memperkenalkan dirinya kepada jemaat di sana.[8]
Selain daripada itu, Th. Van den End juga menuliskan bahwa alasan atau tujuan
daripada penulisan surat Roma ini ialah:[9]
1.
Berkenalan dengan jemaat, yang tidak didirikan
oleh Paulus (1:11).
2.
Meminta dukungan keuangan dan penyediaan sarana
untuk perjalanan ke Spanyol yang sedang direncanakan Paulus (15:24).
3.
Meminta doa syafaat jemaat Roma berhubungan
dengan konfortasi dengan orang Yahudi di Yerusalem (15:30-31).
4.
Meminta doa syafaat Jemaat Roma berhubung dengan
ketidak pastian Paulus mengenai sikap jemaat Kristen di Yerusalem terhadap
sumbangan jemaat-jemaat di Makedonia dan Akhaya yang dibawa Paulus ke Yerusalem
(15:30-31).
5.
Agaknya juga meredakan perselisihan yang sedang
berlangsung di Jemaat Roma (14:1-15:13).
Berkaitan
dengan itu, maka jelaslah bagaimana situasi Jemaat pada saat itu? Seperti yang
terdapat pada tujuan penulisan surat ini yang diuraikan oleh Th. Van den End.
Selain daripada itu, hal yang dapat membantu dalam menentukan alasan penulisan
surat ini ialah kapan serta di mana Paulus menulis surat Roma ini? Dan juga
atas dibantuan dari struktur dari surat Roma itu sendiri. Menurut D. Guthrie
(ditentukan dengan ketetapan relatif), bahwa surat kepada jemaat Roma di tulis
antara tahun 57 dan 59 M.[10]
Benarkah hal itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka penulis mencoba
menghubungkannya dengan peristiwa yang dialami oleh rasul Paulus sebelum
kembali ke Yerusalem untuk membawa persembahan/bantuan kepada orang-orang
Kristen di Yerusalem (Rom. 15:25; Kis. 24:17). Menurut Th. Van den End, bahwa
situasi yang di alami oleh Rasul Paulus pada saat itu ialah ancaman dari orang
Yahudi yang berkeinginan untuk membunuhnya (Kis. 20:2-3).[11]
Sehingga Paulus membatalkan pelayarannya ke Siria dan mengambil jalan darat ke Filipi
(700 Km jalan kaki dari Korintus). Sehingga Menurut Th. van den End dalam
bukunya tafsiran surat Roma, bahwa Surat Roma di tulis di Korintus (15:32).[12]
Dan sehubungan dengan itu, Th. Van den End menyimpulkan bahwa tahun penulisan
surat Roma ini yaitu 56/57 M.[13]
Dari kedua pokok pikiran ini, maka penulis menyimpulkan bahwa surat Roma ini di
tulis di Korintus pada tahun 57 M. Alasannya ialah terletak pada pembawa surat
ini kepada jemaat Roma, yaitu Febe (Rom. 16:1). Febe adalah seorang yang
melayani di Kengkrea, dan Krengkea terletak di sebelah Timur Korintus.[14]
Dan juga berhubungan dengan catatan Kis. 20:3. Berkaitan dengan itu, maka dapat
ditelusuri situasi di Jemaat Roma.
Di
zaman Paulus hidup, Roma adalah kota terpenting dari kerajaan Romawi. Didirikan
di tahun 753 BC, kota ini mempunyai penduduk sebanyak lebih dari 1 juta
penduduk di zaman Perjanjian Baru. Kebanyakan dari mereka yang berada di sana
adalah budak-budak yang diperjual-belikan. Di sekitar kota ini juga, menurut
tradisi, Paulus menjadi martir ketika Roma di bawah pemerintahan Kaisar kejam
Nero (54-68AD).[15]
Ada kemungkinan bahwa sebagian dari mereka yang bertobat saat hari Pentakosta
(Kisah Rasul 2) berasal dari kota ini, dan merintis awalnya gereja di Roma saat
mereka kembali. Selain daripada itu, Gambaran dari situasi jemaat ini dapat juga
dapat dilihat dari struktur surat Roma sebagai berikut: Dalam
pasal 12:3-21 berisikan himbauan umum yang menyangkut kehidupan gereja. Di mana
dalam pasal ini menasehatkan agar pribadi jemaat yang ada di dalam Jemaat Roma
tidak menilai diri, dan memikirkan hal-hal yang lebih tinggi, melainkan mereka
harus menilai dirinya dengan tepat, yaitu dengan ukuran iman yang dikaruniakan
Allah kepada mereka. Sebab bagi Paulus dalam Roma 12:4-8 bahwa perbedaan yang
ada di antara jemaat itu hanya karena masalah karunia-karunia. Dan oleh karena
itu bagi Paulus, hendaklah karunia itu dipergunakan bukan untuk meninggikan
diri sendiri melebihi orang lain. Dan hal ini secara logis diikuti oleh
perintah untuk mengasihi (ay. 9-21). Dari poin ini dapat ditemukan bahwa salah
satu peristiwa yang terjadi di antara jemaat ialah masalah tinggi hati atas
karunia-karunia.
Pasal
14:1-15:13 membahas tentang yang kuat dan yang lemah. Namun, bagian ini dapat
dibagi lagi dalam 3 bagian, yaitu:[16]
Pertama,
pasal 14:1-12, yang menjelaskan bahwa orang yang lemah imannya harus diterima
ke dalam persekutuan, dan orang Tak boleh berdebat dengan orang-orang yang
demikian yang menyangkut perbedaan-perbedaan pendirian.
Kedua, pasal 14:13-23, yang
menjelaskan bahwa yang kuat tidak boleh
memaksakan orang yang lemah untuk hidup seperti dia, tetapi beradasarkan kasih
dan demi damai sejahtera.
Ketiga, pasal 15:1-13, dalam
bagian ini - yang secara khusus dimulai dari ayat 8 – menjelaskan siapa kedua
kelompok ini (yang kuat dan yang lemah), yaitu orang-orang kristen Yahudi (yang
lemah) dan orang-orang kristen Non-Yahudi Yang kuat. Jadi kalau poin-poin yang
diuaraikan oleh Willi Marxsen ini dihubungkan dengan tujuan penulisan surat
Roma yang diuraikan oleh Th. Van den End di atas maka jelaslah yang menjadi
permasalahannya (secara Khusus dalam perikop yang penulis dasari dalam seminar
ini) ialah konflik antara orang-orang Kristen dari keturunan Yahudi dan
orang-orang Kristen dari kalangan Non-Yahudi. Sehingga jelaslah bahwa salah satu
tujuan dari penulisan surat Roma ini ialah untuk menasehati jemaat Roma yang
sifatnya plural.
c. Pemikiran Paulus tentang Dosa yang
Turun-Temurun
Menurut
Dictionary of Paul and His Letter[17],
bahwa There
are more than thirty words in the NT that convey some notion of sin, and paul
employs at least twenty-four of them. He makes very little use of the
“guilt” terminology in the psychological
sense, but it may fairly be said that many of the things he says about sin include
the thought that sinners are guilty people, after all, to commit a sin is to be
guilty of that sin.[18]
(Ada lebih dari
tiga puluh kata
dalam PB
yang menyampaikan
beberapa pengertian
tentang dosa,
dan Paulus mempekerjakan sedikitnya,
yakni dua puluh empat dari pengertian
tersebut. Dia
membuat penggunaan
yang sangat sedikit
dari "rasa
bersalah" dalam
pengertian terminologi psikologis, tetapi cukup dapat dikatakan bahwa
banyak hal
yang dia katakan
tentang dosa
termasuk
pikiran bahwa
orang berdosa
adalah
rasa bersalah seseorang, oleh karena itu, berbuat
dosa adalah
menjadi bersalah
itulah dosa). Paulus dalam surat-suratnya memakai
banyak istilah untuk menyebutkan atau mengistilahkan dosa, seperti juga dalam
menjelaskan gagasan-gagasannya yang lain.[19]
Di antaranya ialah: kata Yunani hamartia.
Kata
hamartia digunakan secara umum dalam
pengertian perbuatan-perbuatan dosa dan dipakai dalam bentuk jamak dan bentuk
tunggal. Kata hamartia yang digunakan
dalam bentuk jamak seringkali dalam tulisan-tulisan yang merupakan
kutipan-kutipan dari PL (Rom. 4:7; 11:27, bnd. 1 Tes. 2:16; 1 Kor. 15:17). Juga
terdapat dalam beberapa pernyataan yang menghubungkan kematian Kristus dengan
dosa manusia, sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan kata hamartia dalam bentuk jamak
mengungkapkan keseluruhan dosa secara umum (bnd. Efesus 2:1).
Menurut
Dictinary of Paul and His Letter bahwa [20]
“Paul presents a massive treatment of the problem of sin in his letter to the
romans, where he uses the noun for “sin” (hamartia) forty-eight times, the noun
“trespass” (paraptoma) nine times, “sinner,” the verb “to sin” (hamartano)
seven times, sinner (hamartolos) four times, bad (kakos) fifteen times, and
unrighteousness (adikia) seven times. In addition puls uses a number of other
words with similar meanings which individually do not occur frequently, but
which when taken together add up to a significant part of Romans.” (Paulus menyajikan penanganan
besar berkaitan dengan masalah dosa dalam
suratnya kepada
jemaat
Roma, di mana ia
menggunakan kata
benda untuk
"dosa"
(hamartia) empat
puluh delapan kali,
kata benda
"penebus" (paraptoma)
sembilan
kali, "orang
berdosa," kata
kerja "dosa"
(hamartano) tujuh
kali, orang
berdosa (hamartolos)
empat kali,
buruk (kakos)
lima belas
kali,
dan kelaliman
(adikia)
tujuh kali.
Selain itu
ditambah
dengan
menggunakan sejumlah kata
lain dengan
arti yang
sama, tetapi
ketika diambil
bersama-sama
menambahkan bagian
penting pada Roma).
Bentuk
tunggal dari hamartia hampir selalu menggambarkan keadaan berdosa
dan bukan berarti suatu tindakan membuat dosa. Karena itu Paulus dapat
berbicara tentang kuasa-kuasa dosa (Rm. 3:9), pengenalan dosa (3:20),
bertambahnya dosa (Rm. 5:20), hamba dosa (Rm. 6:16) dan upah dosa (6: 23).
Bahkan dalam Roma 7, Paulus menganggap dosa
sebagai suatu pribadi, di mana dosa digambarkan sebagai seorang penguasa yang
lalim.
Oleh
karena pembahasan penulis hanya terletak dalam surat Roma, secara khusus pada
Rom. 2-3, maka penulis mengkhususkan diri untuk melihat pengertian dosa dengan
berdasarkan pada pasal-pasal tersebut. Oleh karena itu, yang
dimaksudkan dengan dosa – secara khusus yang sifatnya turun-temurun dalam
pembahasan ini – ialah menggambarkan keadaan atau situasi berdosa yang sifatnya
kontinu, dan bukan suatu tindakan berbuat dosa. Mengapa? Karena setelah
penulis melihat istilah dosa yang digunakan oleh Paulus dalam dua bagian pasal
ini terdiri dari bentuk tunggal hamartia
meskipun ia menggunakan istilah-istilah lain namun mengandung makna yang sama. Namun
perlu diketahui bahwa Paulus lebih mementingkan fakta bahwa seluruh manusia
berdosa daripada persoalan asal usul dosa atau penyebaran dosa. Meskipun ia
mendukung bahwa dosa itu masuk melalui Adam (Rom. 5:12, 1 Kor. 15:21-22), namun
ia tidak mengatakan bahwa dosa menjalar dari satu orang kepada orang lain.
Bahkan Paulus memulaikan dengan kenyataan bahwa dosa itu ada dalam setiap
manusia. Lalu mengapa Paulus memiliki pemahan bahwa ada dosa yang turun
temurun? Menurut Willi Marxsen, bahwa hal ini disebabkan oleh karena Paulus
memiliki latar belakang Yahudi. Lalu bagaimana pemahaman Yahudi berkaitan
dengan hal ini?
Untuk melihat hal ini maka penulis mencoba
mengaitkannya dengan Keluaran 20:5, yang berbunyi demikian: “jangan sujud menyembah kepadanya atau
beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang
membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga
dan keempat dari orang-orang yang membenci aku”, mengapa penulis
menghubungkannya dengan hal ini? Sebab Paulus memiliki latar belakang Yahudi
dan selalu menggunakan PL untuk menjelaskan maksud dan tujuannya. Selain
daripada itu bahwa menurut penulis sendiri, ayat ini mampu memberikan bantuan
untuk memahami bagaimana pemahan orang Yahudi berkaitan dengan dosa yang
sifatnya turun-temurun. Di mana orang Yahudi memiliki pemahaman bahwa Allah
tidak akan menghukum generasi berikutnya (anak-anak) jika mereka tidak
meneruskan perbuatan dosa seperti nenek moyangnya.[21]
Apa sebabnya anak-anak bisa meneruskan perbuatan jahat atau perbuatan dosa yang
dilakuakan oleh nenek moyangnya? Hal ini tidak terlepas dari dunia sosial
masyarakat di Palestina, khususnya bagi bangsa Yahudi. Dalam kehidupan
sehari-hari, keluarga (yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan sanak saudara yang
lainnya) Yahudi hidup dalam satu rumah yang terdiri dari beberapa kamar.[22]
Sehingga ada kemungkinan bahwa hal inilah yang membuat generasi berikutnya bisa
saja mengikuti perbuatan dosa yang dilakukan oleh nenek moyangnya. Sehingga
anak-anak juga ikut-ikutan mewarisi dosa tersebut. Sekarang apa saja bentuk-bentuk
pelanggaran yang bisa ditiru oleh generasi selanjutnya menurut Paulus dalam
suratnya kepada jemaat Roma. Pertama,
dari latar-belakang penulisan surat Roma di atas, maka penulis dapat mengambil
satu kesimpulan bahwa sikap tinggi hati atau sikap menilai diri-sendiri lebih
dari orang lain bisa menjadi salah satu dosa yang sifatnya turun-temurun. Mengapa?
Karena hal ini bisa ditiru oleh generasi selanjutnya, sehingga dapat
memunculkan sikap egoisme. Kedua, jika
dilihat Roma Pasal 2-3, maka di sana secara tidak langsung Paulus menuliskan
apa-apa saja perbuatan yang bisa menimbulkan dosa, yaitu: pada Rom. 2:21-22;
3:13, 15, sehingga menurut penulis ada kemungkinan bahwa perbuatan mencuri,
berzinah, merampok, sumpah serapah, menumpahkan darah, dll.
Lalu bagaimana hal ini menurut Paulus? Menurut
Paulus dalam pasal 3:24-26, yang menyatakan bahwa manusia telah dibenarkan oleh
Allah secara cuma-cuma dalam Kritus Yesus. Oleh karena itu, Bagi Paulus, tidak boleh dilupakan bahwa keselamatan itu
muncul dari dalam kalangan Yahudi, yakni dalam diri Yesus, seorang Yahudi,
keturunan Daud (Roma 1:3) dan “pertama-tama” ditujukan kepada orang Yahudi,
sebelum kepada yang lainnya. Gagasan ini cukup mewarnai surat Paulus
kepada jemaat Roma (Rom.1:16; 2:10; band. Rom3:2). Dengan demikian pengharapan
mesianis Yahudi sesungguhnya telah digenapi. Ini memperlihatkan bahwa melalui istilah Kristus Paulus
mengungkapkan imannya bahwa Mesias yang dinanti-nantikan itulah Yesus. Konsep Paulus
tentang Kristus yang disalibkan dan mati, walaupun diambil-alih dari gagasan
yang sudah umum dalam lingkungan jemaat sebelumnya, menampilkan konsep “korban”
dalam Perjanjian Lama. Kematian Kristus
merupakan korban pendamaian bagi semua dosa-dosa manusia (Roma 3:23-26). Konsep
itu diperlihatkan oleh pemakaian kata “ilasthrion” oleh Paulus dalam Roma 3:25[23]. Kata ini dipakai
Paulus hanya di sini. Menurut Ziesler
kata ini dapat diterjemahkan “penebusan (expiation)” dan juga “pendamaian
(propitiation)”. Sekalipun demikian, dalam konsep Perjanjian Lama kedua
pengertian itu mempunyai makna yang saling berkaitan, karena pelaku
kedua-duanya adalah Allah sendiri. Allahlah yang berinisiatip untuk menebus
maupun mendamaikan. Perdamaian dapat terjadi karena penebusan dan sebaliknya
penebusan dapat terjadi karena perdamaian. Tidak ada lagi “dosa’ penghalang
bagi hubungan Allah dengan manusia.
Bab III
Penutup
a.
Kesimpulan
Berdasarkan
pada uraian tersebut di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa Dosa yang turun-temurun
itu ialah perbuatan salah atau bertentangan dengan Allah, di mana situasinya
dapat diikuti oleh generasi selanjutnya. Hal ini bisa muncul dalam gagasan
Paulus dalam Surat Roma, disebabkan oleh latar-belakangnya sebagai orang
Yahudi, yang sudah memiliki konsep sendiri menganai dosa yang sifatnya
turun-temurun, yaitu dosa yang dimulai oleh Adam.
Dan
untuk menangani masalah itu, maka Paulus memberikan pemahaman, bahwa semua
manusia memang sudah dikuasai oleh dosa, hanya saja Kristus telah mengalahkan kekuatan
dosa itu dengan cara kematian-Nya di atas kayu salib.
Daftar
Pustaka
a. Buku
1.
Browning,
W.L.F., Kamus Alkitab, Jakarta:BPK-GM; 2007.
2.
Dunner, Walter
M., Pengantar
PB, Jogyakarta:Kanisius; 2002.
3.
Duyvermann,
M.E., Pembimbing ke Dalam Perjanjian Baru, Jakarta:BPK-GM;2003.
4.
Guthrie, D., Surat
Kepada Jemaat Roma (dlm.) J. D.
Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z,
Jakarta:YKBK/OMF;2007.
5.
Guthrie D. (pengantar), Tafsiran Alkitab Masa Kini, Jakarta:YKBK;2007.
6.
Guthrie, D,
Teologi Perjanjian Baru 1, Jakarta:BPK-GM;2006.
7.
Hawthorne, Gerald F., cs (editor), Dictionary
of Paul and His Letters, England: InterVarsity Press, 1993.
8.
James Dunn, D.G., Word Biblical Commentary,
USA: Texas Dalas;1988.
9.
Marxsen, Willi, Pengantar
Perjanjian Baru, Jakarta:BPK-GM;2003.
10.
Stambaugh, John dan David Balach, Dunia
Sosial Kekristenan Mula-mula, Jakarta: BPK-GM;1994
11.
Sugono, Dendi, (Ed.),
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia; 2008.
12.
Wahono, S.
Wismoady, Di Sini Kutemukan, Jakarta:BPK-GM;2009.
13.
Van den End,
Th., Tafsiran
Alkitab Surat Roma, Jakarta:BPK-GM;2006.
a.
Web site
http://airhidup.info/wp/paulus-vs-yakobus-iman-atau-perbuatan/,
diakses pada tanggal 25 Maret 2012.
[1]
Dendi Sugono (Ed.), “Kamus Besar Bahasa
Indonesia”, (Jakarta: Gramedia; 2008), hlm. 342
[2]
Bnd. W.L.F. Browning, “Kamus Alkitab”,
(Jakarta:BPK-GM; 2007), hlm. 86.
[3]
Bnd. M.E. Duyvermann, “Pembimbing ke
Dalam Perjanjian Baru,” (Jakarta:BPK-GM;2003), hlm. 99.
[4] S.
Wismoady Wahono, “Di Sini Kutemukan”,
(Jakarta:BPK-GM;2009), hlm. 413.
[5]
Ibid.
[6]
Bnd. Walter M. Dunner, “Pengantar PB”,
(Jogyakarta:Kanisius; 2002), hlm. 33-46.
[7]
Bnd. Th. Van den End, “Tafsiran Alkitab
Surat Roma,” (Jakarta:BPK-GM;2006), hlm. 3.
[8]
Bnd. Willi Marxsen, “Pengantar Perjanjian
Baru”, (Jakarta:BPK-GM;2003), hlm. 106.
[9]
Th. Van den End, Op. Cit.,hlm.
4.
[10] D.
Guthrie, Surat Kepada Jemaat Roma
(dlm.) J. D. Douglas, “Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z,” (Jakarta:YKBK/OMF;2007), hlm. 324.
[11] Bnd, Th. Van den End, Op.cit.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14]
Bnd. M. E. Duyvermann, Op. Cit., hlm.
99.
[15] http://airhidup.info/wp/paulus-vs-yakobus-iman-atau-perbuatan/,
diakses pada tanggal 25 Maret 2012.
[16]
Bnd. Willi Marxsen, Op.Cit., hlm.
111-112.
[17] Gerald F.Hawthorne, cs (editor), “Dictionary of Paul and His Letters”, (England:
InterVarsity Press, 1993), 877.
[18] James D.G. Dunn, “Word Biblical Commentary”, (USA: Texas
Dalas;1988), hlm.
[19] Bnk. Donald Guthrie, “Teologi Perjanjian Baru 1”,
(Jakarta:BPK-GM;2006), hlm 217-218.
[20] Gerald F. Hawthorne, Op. Cit.
[21]
Bnd. D. Guthrie (pengantar), :Tafsiran
Alkitab Masa Kini”, (Jakarta:YKBK;2007), hlm. 170.
[22]
Bnd. John Stambaugh dan David Balach, “Dunia
Sosial Kekristenan Mula-mula”, (Jakarta: BPK-GM;1994), hlm. 93.
[23]Gerald F.Hawthorne, Op.
Cit., hal.93.
menggumuli adalah hal yang wajar, dan itu muncul disaat kita menganggapnya sesuatu hal yang unik.
BalasHapusdan hal ini perlu untuk digumuli