Kamis, 24 Mei 2012

Dosa Yang Turun Temurun


BAB I
PENDAHULUAN
Menurut penulis berbicara masalah dosa bukanlah hal yang baru. Ungkapan tentang dosa, setiap saat diperdengarkan atau didengungkan. Setiap kali orang tua menegur anak-anaknya selalu dikaitkan dengan kata dosa. Setiap kali pendeta berkhotbah, maka pendeta selalu mengingatkan masalah dosa kepada jemaatnya. Dan Alkitab sendiripun senantiasa berbicara tentang dosa. Di saat seseorang mengalami masalah dalam hidupnya (misalnya sakit, dll) maka selalu dikaitkan dengan dosa. Terlebih lagi jika masalah yang dialami seseorang itu dikaitkan dengan masalah dosa yang turun-temurun. Di mana jika seseorang yang mengalami musibah atau masalah maka seringkali muncul teguran yang berbunyi “itu karena dosamu”, atau “jangan-jangan itu karena dosa orang tuannya”.
Namun Firman Tuhan dalam kitab Roma juga berkata demikian: “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus (Roma 3:23-24).” Dari nats ini jelas bahwa dosa manusia telah ditebus oleh Yesus.
Lalu mengapa masih ada perkataan “itu karena dosa.” Apa sebenarnya yang dimaksud dengan dosa? Benarkah dosa itu turun-temurun? Bagaimana dosa yang turun temurun? Benarkah setiap kali seseorang mengalami masalah dalam hidupnya, itu disebabkan oleh dosanya atau oleh dosa yang turun-temurun dari nenek moyangnya? Benarkah dosa yang turun-temurun itu ada? Lalu jenis dosa apa yang bisa dikategorikan sebagai dosa yang turu-temurun, jika seandainya dosa yang turun-temurun itu ada.
Rasa penasaran inilah yang menggerakkan hati kecil penulis untuk melihat kasus ini dengan mencoba berlandaskan pada pandangan surat Roma pasal 2-3 dan secara khusus berpatokan pada Roma 3:23-24.












BAB II
PEMBAHASAN
a.    Pengertian dosa
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, bahwa kata dosa itu berarti perbuatan yang melanggar hukum TUHAN atas Agama atau dengan istilah lain Perbuatan salah.[1] Selain daripada itu, menurut W.R.F. Browning, bahwa dosa itu adalah sesuatu yang tidak dapat diterima (bagi Allah, atau umat manusia).[2] Jadi dari pengertian ini, penulis menyimpukan bahwa dosa yang turun temurun itu artinya ialah perbuatan yang melanggar hukum TUHAN atau agama, yang sifatnya turun-temurun. Lalu sekarang yang menjadi pertanyaan selanjutnya ialah apa dan bagaimana dosa menurut Paulus dengan perhatian lebih ditunjukkan pada dosa yang sifatnya turun-temurun.
b.   Latar belakang Surat Roma
Untuk melihat latar-belakang surat Roma ini, maka ada beberapa hal yang harus penulis uraikan, yakni:
Surat Roma ditulis oleh rasul Paulus sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam surat Roma 1:1 yang berbunyi: Dari Paulus, hamba Kristus Yesus, yang dipanggil menjadi rasul dan dikuduskan untuk memberitakan Injil Allah.” Dan hal ini juga didukung oleh pendapat M.E. Duyvereman dalam bukunya “Pembimbing ke dalam Perjanjian Baru”, yang mengatakan bahwa tidak ada yang dapat menyanggah kalau bukan Rasul Paulus yang menulis Surat Roma ini.[3]
Siapakah Paulus?
Menurut S. Wismoady Wahono, bahwa  rasul Paulus merupakan perintis dan sekaligus pemimpin usaha pekabaran Injil kepada masyarakat Romawi-Yunani.[4] Paulus Lahir di kota Tarsus, propinsi Kilikia (Kis. 21:39), sebuah kota Yunani yang juga menjadi salah satu pusat kebudayaan Yunani (helenistis). Orang tuanya adalah anggota kelompok Yahudi Ortodox, yang mendidik anaknya menurut ajaran Farisi (Kis. 23:6; Fil. 3:5). Mereka berstatus Warga negara Romawi.[5] Selain daripada itu, pada masa mudanya, Paulus pergi ke Yerusalem, dan menurut kesaksiannya yang tertulis dalam Kisah Para Rasul, dia belajar di bawah pimpinan Rabi Gamaliel I yang terkenal, guru yang utama pada sekolah Hilel (Kis. 22:3).[6] Dari latar belakang ini bisa dipastikan mengapa Paulus sangat memahami,  menguasai dan menghargai teologi Yahudi, yang berbasiskan Hukum Taurat, dan lebih jauh membelanya, sebagai suatu tindakan membela kebenaran. Demi membela Hukum Taurat itulah Paulus merasa terpanggil/wajib untuk membumi-hanguskan segala bentuk/kelompok yang mengabaikannya. Dan dengan terus-terang Paulus menyatakan bahwa “musuh” itu ialah  jemaat Allah.
Pengenalan diri Saulus dalam Alkitab pertama sekali pada peristiwa pembunuhan Stefanus (Kis. 8:1a), dan setelah peristiwa itu Paulus semakin aktif untuk mengejar dan menganiaya orang-orang Kristen (Kis. 8:3), hal itu dibuktikan dengan tindakan Paulus yang meminta surat dari Imam Besar supaya, jika ia menemukan laki-laki atau perempuan yang mengikuti ajaran para Rasul Kristus, ia menangkap dan membawa mereka ke Yerusalem (Kis. 9:1-2).
Namun, dalam perjalanan melakukannya misinya tersebut, Saulus mengalami peristiwa dan kenyataan yang merubah arah hidupnya. Peristiwa itu terjadi di jalan menuju ke Damsyik atau Damaskus (Kis. 9:3-9; 22:4-11 dan 26:12-18). Peristiwa itu ialah Paulus bertemu dengan Kristus. Sehingga peristiwa inilah yang menjadi pendorong Paulus untuk pelayanan mengabarkan berita Injil Kristus.
Mengapa Paulus menulis surat kepada jemaat di Roma?
Satu hal yang perlu diketahui bahwa Jemaat Kristen di Roma bukanlah hasil misi Paulus atau dengan kata lain bahwa jemaat Roma tidak didirikan oleh Paulus.[7] Oleh karena itu, Menurut Feine-Behm, yang dikutip oleh Willi Marxsen dalam bukunya Pengantar Perjanjian Baru, bahwa Paulus – melalui suratnya ini berkeinginan untuk menggunakan gereja di Roma sebagai basis kampanyenya untuk pekerjaan selanjutnya, sehingga ia memperkenalkan dirinya kepada jemaat di sana.[8] Selain daripada itu, Th. Van den End juga menuliskan bahwa alasan atau tujuan daripada penulisan surat Roma ini ialah:[9]
1.      Berkenalan dengan jemaat, yang tidak didirikan oleh Paulus (1:11).
2.      Meminta dukungan keuangan dan penyediaan sarana untuk perjalanan ke Spanyol yang sedang direncanakan Paulus (15:24).
3.      Meminta doa syafaat jemaat Roma berhubungan dengan konfortasi dengan orang Yahudi di Yerusalem (15:30-31).
4.      Meminta doa syafaat Jemaat Roma berhubung dengan ketidak pastian Paulus mengenai sikap jemaat Kristen di Yerusalem terhadap sumbangan jemaat-jemaat di Makedonia dan Akhaya yang dibawa Paulus ke Yerusalem (15:30-31).
5.      Agaknya juga meredakan perselisihan yang sedang berlangsung di Jemaat Roma (14:1-15:13).
Berkaitan dengan itu, maka jelaslah bagaimana situasi Jemaat pada saat itu? Seperti yang terdapat pada tujuan penulisan surat ini yang diuraikan oleh Th. Van den End. Selain daripada itu, hal yang dapat membantu dalam menentukan alasan penulisan surat ini ialah kapan serta di mana Paulus menulis surat Roma ini? Dan juga atas dibantuan dari struktur dari surat Roma itu sendiri. Menurut D. Guthrie (ditentukan dengan ketetapan relatif), bahwa surat kepada jemaat Roma di tulis antara tahun 57 dan 59 M.[10] Benarkah hal itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka penulis mencoba menghubungkannya dengan peristiwa yang dialami oleh rasul Paulus sebelum kembali ke Yerusalem untuk membawa persembahan/bantuan kepada orang-orang Kristen di Yerusalem (Rom. 15:25; Kis. 24:17). Menurut Th. Van den End, bahwa situasi yang di alami oleh Rasul Paulus pada saat itu ialah ancaman dari orang Yahudi yang berkeinginan untuk membunuhnya (Kis. 20:2-3).[11] Sehingga Paulus membatalkan pelayarannya ke Siria dan mengambil jalan darat ke Filipi (700 Km jalan kaki dari Korintus). Sehingga Menurut Th. van den End dalam bukunya tafsiran surat Roma, bahwa Surat Roma di tulis di Korintus (15:32).[12] Dan sehubungan dengan itu, Th. Van den End menyimpulkan bahwa tahun penulisan surat Roma ini yaitu 56/57 M.[13] Dari kedua pokok pikiran ini, maka penulis menyimpulkan bahwa surat Roma ini di tulis di Korintus pada tahun 57 M. Alasannya ialah terletak pada pembawa surat ini kepada jemaat Roma, yaitu Febe (Rom. 16:1). Febe adalah seorang yang melayani di Kengkrea, dan Krengkea terletak di sebelah Timur Korintus.[14] Dan juga berhubungan dengan catatan Kis. 20:3. Berkaitan dengan itu, maka dapat ditelusuri situasi di Jemaat Roma.
Di zaman Paulus hidup, Roma adalah kota terpenting dari kerajaan Romawi. Didirikan di tahun 753 BC, kota ini mempunyai penduduk sebanyak lebih dari 1 juta penduduk di zaman Perjanjian Baru. Kebanyakan dari mereka yang berada di sana adalah budak-budak yang diperjual-belikan. Di sekitar kota ini juga, menurut tradisi, Paulus menjadi martir ketika Roma di bawah pemerintahan Kaisar kejam Nero (54-68AD).[15] Ada kemungkinan bahwa sebagian dari mereka yang bertobat saat hari Pentakosta (Kisah Rasul 2) berasal dari kota ini, dan merintis awalnya gereja di Roma saat mereka kembali. Selain daripada itu, Gambaran dari situasi jemaat ini dapat juga dapat dilihat dari struktur surat Roma sebagai berikut: Dalam pasal 12:3-21 berisikan himbauan umum yang menyangkut kehidupan gereja. Di mana dalam pasal ini menasehatkan agar pribadi jemaat yang ada di dalam Jemaat Roma tidak menilai diri, dan memikirkan hal-hal yang lebih tinggi, melainkan mereka harus menilai dirinya dengan tepat, yaitu dengan ukuran iman yang dikaruniakan Allah kepada mereka. Sebab bagi Paulus dalam Roma 12:4-8 bahwa perbedaan yang ada di antara jemaat itu hanya karena masalah karunia-karunia. Dan oleh karena itu bagi Paulus, hendaklah karunia itu dipergunakan bukan untuk meninggikan diri sendiri melebihi orang lain. Dan hal ini secara logis diikuti oleh perintah untuk mengasihi (ay. 9-21). Dari poin ini dapat ditemukan bahwa salah satu peristiwa yang terjadi di antara jemaat ialah masalah tinggi hati atas karunia-karunia.
Pasal 14:1-15:13 membahas tentang yang kuat dan yang lemah. Namun, bagian ini dapat dibagi lagi dalam 3 bagian, yaitu:[16]
Pertama, pasal 14:1-12, yang menjelaskan bahwa orang yang lemah imannya harus diterima ke dalam persekutuan, dan orang Tak boleh berdebat dengan orang-orang yang demikian yang menyangkut perbedaan-perbedaan pendirian.
Kedua, pasal 14:13-23, yang menjelaskan  bahwa yang kuat tidak boleh memaksakan orang yang lemah untuk hidup seperti dia, tetapi beradasarkan kasih dan demi damai sejahtera.
Ketiga, pasal 15:1-13, dalam bagian ini - yang secara khusus dimulai dari ayat 8 – menjelaskan siapa kedua kelompok ini (yang kuat dan yang lemah), yaitu orang-orang kristen Yahudi (yang lemah) dan orang-orang kristen Non-Yahudi Yang kuat. Jadi kalau poin-poin yang diuaraikan oleh Willi Marxsen ini dihubungkan dengan tujuan penulisan surat Roma yang diuraikan oleh Th. Van den End di atas maka jelaslah yang menjadi permasalahannya (secara Khusus dalam perikop yang penulis dasari dalam seminar ini) ialah konflik antara orang-orang Kristen dari keturunan Yahudi dan orang-orang Kristen dari kalangan Non-Yahudi. Sehingga jelaslah bahwa salah satu tujuan dari penulisan surat Roma ini ialah untuk menasehati jemaat Roma yang sifatnya plural.
c.    Pemikiran Paulus tentang Dosa yang Turun-Temurun
Menurut Dictionary of Paul and His Letter[17], bahwa There are more than thirty words in the NT that convey some notion of sin, and paul employs at least twenty-four of them. He makes very little use of the “guilt”  terminology in the psychological sense, but it may fairly be said that many of the things he says about sin include the thought that sinners are guilty people, after all, to commit a sin is to be guilty of that sin.[18] (Ada lebih dari tiga puluh kata dalam PB yang menyampaikan beberapa pengertian tentang dosa, dan Paulus mempekerjakan sedikitnya, yakni dua puluh empat dari pengertian tersebut. Dia membuat penggunaan yang sangat sedikit dari "rasa bersalah" dalam pengertian terminologi psikologis, tetapi cukup dapat dikatakan bahwa banyak hal yang dia katakan tentang dosa termasuk pikiran bahwa orang berdosa adalah rasa bersalah seseorang, oleh karena itu, berbuat dosa adalah menjadi bersalah itulah dosa). Paulus dalam surat-suratnya memakai banyak istilah untuk menyebutkan atau mengistilahkan dosa, seperti juga dalam menjelaskan gagasan-gagasannya yang lain.[19] Di antaranya ialah: kata Yunani hamartia.
Kata hamartia digunakan secara umum dalam pengertian perbuatan-perbuatan dosa dan dipakai dalam bentuk jamak dan bentuk tunggal. Kata hamartia yang digunakan dalam bentuk jamak seringkali dalam tulisan-tulisan yang merupakan kutipan-kutipan dari PL (Rom. 4:7; 11:27, bnd. 1 Tes. 2:16; 1 Kor. 15:17). Juga terdapat dalam beberapa pernyataan yang menghubungkan kematian Kristus dengan dosa manusia, sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan kata hamartia dalam bentuk jamak mengungkapkan keseluruhan dosa secara umum (bnd. Efesus 2:1).
Menurut Dictinary of Paul and His Letter bahwa [20] “Paul presents a massive treatment of the problem of sin in his letter to the romans, where he uses the noun for “sin” (hamartia) forty-eight times, the noun “trespass” (paraptoma) nine times, “sinner,” the verb “to sin” (hamartano) seven times, sinner (hamartolos) four times, bad (kakos) fifteen times, and unrighteousness (adikia) seven times. In addition puls uses a number of other words with similar meanings which individually do not occur frequently, but which when taken together add up to a significant part of Romans.” (Paulus menyajikan penanganan besar berkaitan dengan masalah dosa dalam suratnya kepada jemaat Roma, di mana ia menggunakan kata benda untuk "dosa" (hamartia) empat puluh delapan kali, kata benda "penebus" (paraptoma) sembilan kali, "orang berdosa," kata kerja "dosa" (hamartano) tujuh kali, orang berdosa (hamartolos) empat kali, buruk (kakos) lima belas kali, dan kelaliman (adikia) tujuh kali. Selain itu ditambah dengan menggunakan sejumlah kata lain dengan arti yang sama, tetapi ketika diambil bersama-sama menambahkan bagian penting pada Roma).
Bentuk tunggal dari hamartia  hampir selalu menggambarkan keadaan berdosa dan bukan berarti suatu tindakan membuat dosa. Karena itu Paulus dapat berbicara tentang kuasa-kuasa dosa (Rm. 3:9), pengenalan dosa (3:20), bertambahnya dosa (Rm. 5:20), hamba dosa (Rm. 6:16) dan upah dosa (6: 23). Bahkan dalam Roma 7, Paulus menganggap dosa sebagai suatu pribadi, di mana dosa digambarkan sebagai seorang penguasa yang lalim.
Oleh karena pembahasan penulis hanya terletak dalam surat Roma, secara khusus pada Rom. 2-3, maka penulis mengkhususkan diri untuk melihat pengertian dosa dengan berdasarkan pada pasal-pasal tersebut. Oleh karena itu, yang dimaksudkan dengan dosa – secara khusus yang sifatnya turun-temurun dalam pembahasan ini – ialah menggambarkan keadaan atau situasi berdosa yang sifatnya kontinu, dan bukan suatu tindakan berbuat dosa. Mengapa? Karena setelah penulis melihat istilah dosa yang digunakan oleh Paulus dalam dua bagian pasal ini terdiri dari bentuk tunggal hamartia meskipun ia menggunakan istilah-istilah lain namun mengandung makna yang sama. Namun perlu diketahui bahwa Paulus lebih mementingkan fakta bahwa seluruh manusia berdosa daripada persoalan asal usul dosa atau penyebaran dosa. Meskipun ia mendukung bahwa dosa itu masuk melalui Adam (Rom. 5:12, 1 Kor. 15:21-22), namun ia tidak mengatakan bahwa dosa menjalar dari satu orang kepada orang lain. Bahkan Paulus memulaikan dengan kenyataan bahwa dosa itu ada dalam setiap manusia. Lalu mengapa Paulus memiliki pemahan bahwa ada dosa yang turun temurun? Menurut Willi Marxsen, bahwa hal ini disebabkan oleh karena Paulus memiliki latar belakang Yahudi. Lalu bagaimana pemahaman Yahudi berkaitan dengan hal ini?
Untuk melihat hal ini maka penulis mencoba mengaitkannya dengan Keluaran 20:5, yang berbunyi demikian: “jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci aku”, mengapa penulis menghubungkannya dengan hal ini? Sebab Paulus memiliki latar belakang Yahudi dan selalu menggunakan PL untuk menjelaskan maksud dan tujuannya. Selain daripada itu bahwa menurut penulis sendiri, ayat ini mampu memberikan bantuan untuk memahami bagaimana pemahan orang Yahudi berkaitan dengan dosa yang sifatnya turun-temurun. Di mana orang Yahudi memiliki pemahaman bahwa Allah tidak akan menghukum generasi berikutnya (anak-anak) jika mereka tidak meneruskan perbuatan dosa seperti nenek moyangnya.[21] Apa sebabnya anak-anak bisa meneruskan perbuatan jahat atau perbuatan dosa yang dilakuakan oleh nenek moyangnya? Hal ini tidak terlepas dari dunia sosial masyarakat di Palestina, khususnya bagi bangsa Yahudi. Dalam kehidupan sehari-hari, keluarga (yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan sanak saudara yang lainnya) Yahudi hidup dalam satu rumah yang terdiri dari beberapa kamar.[22] Sehingga ada kemungkinan bahwa hal inilah yang membuat generasi berikutnya bisa saja mengikuti perbuatan dosa yang dilakukan oleh nenek moyangnya. Sehingga anak-anak juga ikut-ikutan mewarisi dosa tersebut. Sekarang apa saja bentuk-bentuk pelanggaran yang bisa ditiru oleh generasi selanjutnya menurut Paulus dalam suratnya kepada jemaat Roma. Pertama, dari latar-belakang penulisan surat Roma di atas, maka penulis dapat mengambil satu kesimpulan bahwa sikap tinggi hati atau sikap menilai diri-sendiri lebih dari orang lain bisa menjadi salah satu dosa yang sifatnya turun-temurun. Mengapa? Karena hal ini bisa ditiru oleh generasi selanjutnya, sehingga dapat memunculkan sikap egoisme. Kedua, jika dilihat Roma Pasal 2-3, maka di sana secara tidak langsung Paulus menuliskan apa-apa saja perbuatan yang bisa menimbulkan dosa, yaitu: pada Rom. 2:21-22; 3:13, 15, sehingga menurut penulis ada kemungkinan bahwa perbuatan mencuri, berzinah, merampok, sumpah serapah, menumpahkan darah, dll.
Lalu bagaimana hal ini menurut Paulus? Menurut Paulus dalam pasal 3:24-26, yang menyatakan bahwa manusia telah dibenarkan oleh Allah secara cuma-cuma dalam Kritus Yesus. Oleh karena itu, Bagi Paulus, tidak boleh dilupakan bahwa keselamatan itu muncul dari dalam kalangan Yahudi, yakni dalam diri Yesus, seorang Yahudi, keturunan Daud (Roma 1:3) dan “pertama-tama” ditujukan kepada orang Yahudi, sebelum kepada yang lainnya. Gagasan ini cukup mewarnai surat Paulus kepada jemaat Roma (Rom.1:16; 2:10; band. Rom3:2). Dengan demikian pengharapan mesianis Yahudi sesungguhnya telah digenapi. Ini memperlihatkan  bahwa melalui istilah Kristus Paulus mengungkapkan imannya bahwa Mesias yang dinanti-nantikan itulah Yesus. Konsep Paulus tentang Kristus yang disalibkan dan mati, walaupun diambil-alih dari gagasan yang sudah umum dalam lingkungan jemaat sebelumnya, menampilkan konsep “korban” dalam Perjanjian Lama. Kematian Kristus merupakan korban pendamaian bagi semua dosa-dosa manusia (Roma 3:23-26). Konsep itu diperlihatkan oleh pemakaian kata “ilasthrion” oleh Paulus dalam Roma 3:25[23]. Kata  ini dipakai Paulus hanya di sini. Menurut  Ziesler kata ini dapat diterjemahkan “penebusan (expiation)” dan juga “pendamaian (propitiation)”. Sekalipun demikian, dalam konsep Perjanjian Lama kedua pengertian itu mempunyai makna yang saling berkaitan, karena pelaku kedua-duanya adalah Allah sendiri. Allahlah yang berinisiatip untuk menebus maupun mendamaikan. Perdamaian dapat terjadi karena penebusan dan sebaliknya penebusan dapat terjadi karena perdamaian. Tidak ada lagi “dosa’ penghalang bagi hubungan Allah dengan manusia.


Bab III
Penutup
a.    Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa Dosa yang turun-temurun itu ialah perbuatan salah atau bertentangan dengan Allah, di mana situasinya dapat diikuti oleh generasi selanjutnya. Hal ini bisa muncul dalam gagasan Paulus dalam Surat Roma, disebabkan oleh latar-belakangnya sebagai orang Yahudi, yang sudah memiliki konsep sendiri menganai dosa yang sifatnya turun-temurun, yaitu dosa yang dimulai oleh Adam.
Dan untuk menangani masalah itu, maka Paulus memberikan pemahaman, bahwa semua manusia memang sudah dikuasai oleh dosa, hanya saja Kristus telah mengalahkan kekuatan dosa itu dengan cara kematian-Nya di atas kayu salib.






Daftar Pustaka
a.      Buku
1.        Browning, W.L.F., Kamus Alkitab, Jakarta:BPK-GM; 2007.
2.        Dunner, Walter M., Pengantar PB, Jogyakarta:Kanisius; 2002.
3.        Duyvermann, M.E., Pembimbing ke Dalam Perjanjian Baru,  Jakarta:BPK-GM;2003.
4.        Guthrie, D., Surat Kepada Jemaat Roma  (dlm.) J. D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z, Jakarta:YKBK/OMF;2007.
5.        Guthrie D. (pengantar), Tafsiran Alkitab Masa Kini, Jakarta:YKBK;2007.
6.        Guthrie, D, Teologi Perjanjian Baru 1, Jakarta:BPK-GM;2006.
7.        Hawthorne, Gerald F., cs (editor), Dictionary of Paul and His Letters, England: InterVarsity Press, 1993.
8.        James Dunn, D.G., Word Biblical Commentary, USA: Texas Dalas;1988.
9.        Marxsen, Willi, Pengantar Perjanjian Baru, Jakarta:BPK-GM;2003.
10.    Stambaugh, John dan David Balach, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula, Jakarta: BPK-GM;1994
11.    Sugono, Dendi, (Ed.), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia; 2008.
12.    Wahono, S. Wismoady, Di Sini Kutemukan, Jakarta:BPK-GM;2009.
13.    Van den End, Th., Tafsiran Alkitab Surat Roma, Jakarta:BPK-GM;2006.

a.      Web site
http://airhidup.info/wp/paulus-vs-yakobus-iman-atau-perbuatan/, diakses pada tanggal 25 Maret 2012.


[1] Dendi Sugono (Ed.), “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, (Jakarta: Gramedia; 2008), hlm. 342
[2] Bnd. W.L.F. Browning, “Kamus Alkitab”, (Jakarta:BPK-GM; 2007), hlm. 86.
[3] Bnd. M.E. Duyvermann, “Pembimbing ke Dalam Perjanjian Baru,” (Jakarta:BPK-GM;2003), hlm. 99.
[4] S. Wismoady Wahono, “Di Sini Kutemukan”, (Jakarta:BPK-GM;2009), hlm. 413.
[5] Ibid.
[6] Bnd. Walter M. Dunner, “Pengantar PB”, (Jogyakarta:Kanisius; 2002), hlm. 33-46.
[7] Bnd. Th. Van den End, “Tafsiran Alkitab Surat Roma,” (Jakarta:BPK-GM;2006), hlm. 3.
[8] Bnd. Willi Marxsen, “Pengantar Perjanjian Baru”, (Jakarta:BPK-GM;2003), hlm. 106.
[9] Th. Van den End, Op. Cit.,hlm. 4.
[10] D. Guthrie, Surat Kepada Jemaat Roma (dlm.) J. D. Douglas, “Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z,” (Jakarta:YKBK/OMF;2007), hlm. 324.
[11] Bnd, Th. Van den End, Op.cit.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Bnd. M. E. Duyvermann, Op. Cit., hlm. 99.
[16] Bnd. Willi Marxsen, Op.Cit., hlm. 111-112.
[17] Gerald F.Hawthorne, cs (editor), “Dictionary of Paul and His Letters”, (England: InterVarsity Press, 1993), 877.
[18] James D.G. Dunn, “Word Biblical Commentary”, (USA: Texas Dalas;1988), hlm.
[19] Bnk. Donald Guthrie, “Teologi Perjanjian Baru 1”, (Jakarta:BPK-GM;2006), hlm 217-218.
[20] Gerald F. Hawthorne, Op. Cit.
[21] Bnd. D. Guthrie (pengantar), :Tafsiran Alkitab Masa Kini”, (Jakarta:YKBK;2007), hlm. 170.
[22] Bnd. John Stambaugh dan David Balach, “Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula”, (Jakarta: BPK-GM;1994), hlm. 93.
[23]Gerald F.Hawthorne, Op. Cit., hal.93. 

1 komentar:

  1. menggumuli adalah hal yang wajar, dan itu muncul disaat kita menganggapnya sesuatu hal yang unik.
    dan hal ini perlu untuk digumuli

    BalasHapus